Ketahuilah bahwa baik pada masa dahulu maupun sekarang
sering terdengar pernyataan :
Dapatkah kita melihat Tuhan
?
Terlebih
dahulu marilah kita tilik pada suatu riwayat, bahwa suatu ketika datang seorang
laki-laki, kehadapan syekh junaedi al-baghdadi r.a dan langsung bertanya :
wahai abu qosim,
Apakah tuan melihat Allah
sewaktu tuan menyembahnya ?
Maka
imam junaed menjawab : tuan penanya yang terhormat memang kami tidak menyembah
tuhan yang tidak kami lihat, dan kami tidak mewajibkan apa-apa yang tidak
jelas. Maka bertanya pula orang itu.
Bagaimanakah tuan caranya
melihat tuhan ?
Jawab imam junaed r.a :
Alkaiiyyatu
ma’lumatun fiihaqqil basyari majmulatun fiihaqqirobbi, lantarohul asroru fiihadzihidduri
bimusyahadatil ‘ayani walakin ta’rifuhul qulubu bihaqoiqil imani tsumma
tatarotta minal ma’rifati ilalruuyati
bimusyahadati nuurul istinani.Jawab Imam Juned Rodhiyallahu ‘Anhum :
Artinya
: bahwasanya ketentuan –ketentuan pema’luman yang terang itu dalam hal haqeaqat
keinsanan (raga
kasar) sedang dalam haqeqat ketuhanan tiada berpengetahuan tegasnya
: Mata kasar tidak dapat melihat Tuhan ditempat ini dengan mata kepala,
melainkam dikenalnya Tuhan itu dengan kekuatan kebenaran Iman.
Selanjutnya
kita berjalan / berlanjut dari pertolongan Ma’rifat kearah penglihatan.(ru’uyati) dengan kesaksian pandangan nur karunia tuhan,
Selanjutnya
aljunaed .r.a berkata : bahwa maha suci Allah yang dilihat dengan Haqeqat
qudusnya maha suci Allah dari shifat-shifst yang baru maha suci Allah dengan
shifat maha gungnya yang maha sempurna, termulya dalam hati kita atas segala
pemberian atas belas kasihnya, terkenal dengan keadilannya yang diliputi oleh
shifat-shifat maha agungnya. Setelah
orang itu memperhatikan keterangan keterangan shekh junaed .r.a maka dia
berdiri lalu mencium tangan beliau serta orang itu pun bertaobat dan tetap
mengikuti bersama shekh junaed sampai beliau
wafat
yang seperti itu terjadi pula di masa shekh ‘Abdulqodir jaelani dengan
kedatangan seorang laki-laki yang bertanya perihal beliau.
Dapat melihat Tuhan dengan
matanya.
Shekh abdul qodir jaelani membenarkannya
dengan berkata =Na’am= yang sedemikian itu sebenarnya bahwa Beliau
melihat Allah. dengan mata hatinya (Albashiru) nur cahya yang maha
agung lalu tembus dari penglihatan hatinya itu kepenglihatan matanya (Berlawanan dengan kebiasaan umum) maka
melihatlah matanya itu dengan matahatinya yang berupa dua sinarnya dengan nur
cahya penglihatan matanya maka menyangkallah dia bahwa matanya itu melihatnya,
karena yang sebenarnya ia telah melihat dengan hatinya
(Albashiroh) yang dikiranya
ia melihat dengan matanya (Albashor)
Para ahli tashauf mengambil
kesimpulan diantaranya :
Waidzastaulair ruhaniyatu ‘alal basyariyyatin ‘akasa
nazhorul bashoru ilal basyiroti falal yaraul basharu ilal ma’anillati kaanat
tarohal bashirohu.
Artinya : apabila ruhaniyah telah menuruti /
berkuasa atas indra raga (Albasyariyah) maka baiklah mata (Albashor)
kedalam penglihatan hati sanubari (Albashoriyah) maka tetkala itu
tiadalah penglihatan mata kecuali yang dipahami ( Alma’ani ) yang
menjadi langan penglihatan mata adalah sesuatu yang nampak – nampak saja,
Adapun dimasa saidina ‘ali r.a
adapun orang yang datang bertanya :
Tentang dimana tuhan ?
Pertanyaan yang mengandung setengah ejekan itu
menimbulkan berubah mukanya Saidina ‘ali yang sangat beliau terdiam, lalu
berkata kepada orang penanya itu : ada menanyakan Dimana Allah itu berarti petanyaan tentang hal
tempat, dengarkanlah :
Wakanallahu wala makanu . tsumma kholaqozzamani
walmakana ana kama kana duna makanin
walazamanin .
Artinya : adalah Allah itu tidak bertempat,
kemudian Allah menciptakan waktu = masa =zaman = dan ruang
= tempat. Bahwa itu tetap itu juga sebagai keadaannya yang kekal tiada
oleh dikuasai segala ruang dan waktu.
Didalam alquranul kariim terdapat
firman Allah ta’ala :
Bismillahirrohmanirrohiim
: Arrohmanu ‘alal ‘arsyisy tawa (thoha .5)
Artinya : yaitu tuhan yang maha
pemurah bersemaam diatas ‘arsy sama dengan nada ayat lain :
bismillahirrohmanirrohiim
: Tsummas tawa ‘alal ‘arsyi
Artinya :
lalu tuhan bersemayam diatas ‘arsy
Maka
perihal bersemayamnya Allah diatas ‘arsy tersebut imam maliki berkata yang
dimaksud garis besarnya bahwa bersemayam diatas arsy ialah suatu Shifat
Allah yang wajib kita imani mengingat kemaha besaran Allah dan kemaha
sucian .
Alistiwau ma;lumun walkaifu majhulun walimanu bihi
wajibun wassualun ‘anil kaifiyyati bid’atun idzlaya’lamu kaifiyyatu ustiwaituhi
illa hwua.
Artinya : bahwa istiwau / persemayaman tuhan itu fositif
sedangkan selukbeluknya adalah negatif. dan mengimaninya wajib
sedangkan mempersoalkannya / memperbincangkannya tentang selukbeluknya adalah bid’ah,
karena tidak ada yang mengetahui selukbeluk tempat persemayamannya tuhan itu
melainkan hanya Allah jua.
Beberapa pendapat : qaum
mutazilah dan zahimiyah. berpendapat bahwa tuhan tidak bisa dilihat baik
didunia maupun diakhirat berpegang pada penafsiran mereka atas .ayat Alquran.
Latudrikuhul Abshoru (Al’an’Am
103)
Artinya : tuhan tidak dapat dicapai
oleh penglihatan (mata)
Kedua :
pendapat ahli sunah beberapa pendapat bahwa tuhan hanya dapat dilihat diakhirat
berpegang pada penafsiran mereka atas Alquran.
Wujuhu yaumaidhin nadhiroti. Ilaa
rabbiha Nadhirotun (Alqiamah . 22)
Artinya : wajah orang mu’min
pada hari itu berseri-seri . kepada tuhannya mereka melihat.
Ketiga : pendapat qaom shufi dan ahli sunah
waljama’ah. Bahwa tuhan dapat dilihat di dunia dan diakhirat. dan mereka
membagi pengertian mata penglihatan itu dengan
Bersambung ke_16_B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar